A. INTEGRASI SOSIAL
Integrasi berasal
dari bahasa inggris “integration” yang berarti kesempurnaan atau keseluruhan.
Intergasi sosial dimaknai sebagai proses penyesuaian di antara unsur-unsur yang
saling berbeda dalam kehidupan masyarakat yang memiliki keserasian fungsi.
Integrasi sosial akan terbentuk apabila sebagian besar masyarakat memiliki
kesepakatan tentang batas-batas teritorial, nilai-nilai, norma-norma, dan
pranata-pranata sosial.
Di Indonesia istilah
integrasi masih sering disamakan dengan istilah pembauran atau asimilasi,
padahal kedua istilah tersebut memiliki perbedaan. Integrasi diartikan dengan
integrasi kebudayaan, integrasi sosial, dan pluralisme sosial. Sementara
pembauran dapat berarti penyesuaian antar dua atau lebih kebudayaan mengenai
berapa unsur kebudayaan (cultural traits) mereka yang berbeda atau
bertentangan, agar dapat dibentuk menjadi suatu sistem kebudayaan yang selaras
(harmonis). Caranya adalah melalui difusi (penyebaran), dimana unsur kebudayaan
baru diserap ke dalam suatu kebudayaan yang berada dalam keadaan konflik dengan
unsur kebudayaan tradisional tertentu. Cara penanggulangan masalah konflik
adalah melalui modifi kasi dan koordinasi dari unsur - unsur kebudayaan baru
dan lama. Inilah yang disebut sebagai Integrasi Sosial (Theodorson &
Theodorson, 1979 dalam Danandjaja, 1999).
Integrasi sosial adalah
penyatupaduan dari kelompok- kelompok masyarakat yang asalnya berbeda, menjadi
suatu kelompok besar dengan cara melenyapkan perbedaan dan jatidiri masing-
masing. Dalam arti ini, integrasi sosial sama artinya dengan asimilasi atau
pembauran(ICCE, 2003).
Perbedaan dengan pembauran
adalah bahwa kelompok- kelompok sosial yang telah bersatu itu, tetap mempunyai
kebudayaan yang berbeda satu sama lain, karena adanya loyalitas terhadap
kelompok- kelompok asalnya yang mempunyai kebudayaan yang berbeda. Sedangkan
pada kelompokkelompok masyarakat yang telah membaur itu, perbedaan tersebut
sudah tidak ada lagi (Danandjaja, 1999).
Pluralisme
kebudayaan adalah pendekatan heterogenis atau kebhinnekaan kebudayaan, dengan
kebudayaan suku-suku bangsa dan kelompok-kelompok minoritas diperkenankan
mempertahankan jatidiri mereka masing-masing dalam suatu masyarakat. Sedangkan pembauran adalah
pembauran tuntas antara kelompok- kelompok atau individu- individu yang masing-
masing asalnya mempunyai kebudayaan dan jatidiri yang berbeda, menjadi suatu
kelompok bar dengan kebudayaan dan jatidiri bersama (Theodorson & Theodorson,
1979). Sementara yang dimaksud dengan Integrasi Nasional adalah penyatuan
bagian- bagian yang berbeda dari suatu masyarakat menjadi suatu keseluruhan
yang lebih utuh atau memadukan masyarakatmasyarakat kecil yang banyak jumlahnya
menjadi suatu bangsa. Selain itu dapat pula diartikan bahwa integrasi bangsa
merupakan kemampuan pemerintah yang semakin meningkat untuk menerapkan
kekuasaannya di seluruh wilayah (Mahfud, 1993).
Bentuk integrasi
nasional sebagai berikut :
Ø
Asimilasi , yaitu
pembauran kebudayaan yang disertai ciri khas kebudayaan asli.
Ø Akulturasi, yaitu penerimaan sebagian unsur-unsur asing
tanpa menghilangkan kebudayaan asli
Faktor-faktor
pendorong integrasi sosial sebagai berikut :
a. Faktor internal :
·
Kesadaran diri
sebagai makhluk sosial.
·
Tuntutan kebutuhan.
·
Jiwa dan semangat
gotong-royong.
b. Faktor external:
·
Tuntutan
perkembangan zaman.
·
Persamaan kebudayaan.
·
Terbukanya
kesempatan berpartisipasi dalam kehidupan bersama.
·
Persamaan visi,
misi, dan tujuan.
·
Sikap toleransi.
·
Adanya konsensus
nilai.
·
Adanya tantangan
dari luar.
c.
Homogenitas
kelompok.
d. Besar kecilnya kelompok.
e. Mobilitas geografis.
f.
Efektivitas
komunikasi.
B.
INTEGRASI NASIONAL
Integrasi
nasional adalah penyatuan bagian-bagian yang berbeda dari suatu masyarakat
menjadi suatu keseluruhan yang lebih utuh, atau memadukan masyarakat-masyakarat
kecil yang banyak jumlahnya menjadi suatu bangsa (ICCE,2007).
Integrasi nasional
merupakan masalah yang dialami oleh semua negara yang ada di dunia, yang
berbeda adalah bentuk permasalahan yang dihadapi. Beberapa negara yang berdiri
setelah perang dunia II ternyata banyak yang tidak mampu mengintegrasikan
berbagai golongan dalam masyarakatnya. Perang saudara yang terjadi di Nigeria
terjadi karena Nigeria tidak mampu mengintegrasikan suku-suku bangsa Hausa,
Fulani, Ibo, dan Yoruba, sehingga lahirlah negara baru yang menamakan diri
Republik Baifara. Ketidakmampuan India mempersatukan seluruh wilayahnya,
melahirkan negara Pakistan. Ketika wilayah Timur memberontak, Pakistan tidak
mampu mempersekutukan kedua wilayah itu sehingga pada tahun1971 lahirlah
Bangladesh. Amerika Serikat, Canada,dan Australia menghadapi masalah integrasi
bangsa-bangsa imigran. Demikian masalah yang disebabkan oleh masalah integrasi
ini.
Setelah
keruntuhan Uni Soviet, pada tahun 1992 Anne Booth, seorang ekonom dan pengamat
Indonesia menulis suatu artikel di jurnal Indonesia Circle dengan judul
yang provokatif, Can Indonesian Survive as a Unitary State? (Booth:
1992). Artikel Booth ini sangat skeptik terhadap masa depan Indonesia sebagai
negara kesatuan dan berargumen bahwa disintegrasi Indonesia tinggal menunggu
waktu jika tidak terjadi perubahan fundamental dalam tata cara pengelolaan
negara, terutama yang terkait dengan pola hubungan pusat dan daerah. Pada saat
itu, tak sedikit pengamat asing yang memprediksi bahwa Indonesia akan mengalami
proses Balkanisasi, atau terkoyaknya negara kesatuan menjadi negara-negara
kecil seperti di wilayah Eropa Timur, akibat kristalisasi dari gejolak
kekecewaan daerah. Untuk menghadapi persoalan ini, nyaris semua pengamat
merekomendasikan resep yang seragam, yaitu demokratisasi, desentralisasi dan otonomi
daerah dalam berbagai variannya.
Seperti yang kita
ketahui, indonesia merupakan bangsa yang sangat besar baik dari kebudayaan
ataupun wilayahnya. Di satu sisi hal ini membawa dampak positif bagi bangsa
karena kita bisa memanfaatkan kekayaan alam indonesia secara bijak atau
mengelola budaya-budaya yang melimpah untuk kesejahteraan rakyat, namun selain
menimbulkan sebuah keuntungan, hal ini juga akhirnya menimbulkan masalah yang
baru. Kita ketahui dengan wilayah dan budaya yang melimpah itu akan menghasilkan
karakter atau manusia yang berbeda pula sehingga dapat mengancam keutuhan
bangsa indonesia. Akan tetapi, pada kenyataanya Indonesia masih berdiri dengan
keberagaman suku dan budaya meskipun ada beberapa yang memisahkan diri seperti
Timor Leste.
Faktor-faktor
pendorong integrasi nasional sebagai berikut :
1. Faktor sejarah yang menimbulkan rasa senasib dan
seperjuangan.
2. Keinginan untuk bersatu di kalangan bangsa indonesia
sebagai mana dinyatakan dalam Sumpah Pemuda tanggal 28 Oktober 1928.
3. Rasa cinta tanah air di kalangan bangsa indonesia,
sebagaimana dibuktikan perjuangan merebut, menegakkan, dan mengisi kemerdekaan.
4. Rasa rela berkorban untuk kepentingan bangsa dan Negara,
sebagaimana dibuktikan oleh banyak pahlawan bangsa yang gugur di medan perjuangan.
5. Kesepakatan atau konsensus nasional dalam perwujudan
Proklamasi Kemerdekaan, Pancasila dan UUD 1945, bendera merah putih, lagu
kebangsaan indonesia raya, bahasa kesatuan bahasa indonesia.
Faktor-faktor
penghambat integrasi nasional sebagai berikut :
1. Masyarakat indonesia yang heterogen (beraneka garam)
dalam faktor-faktor kesukubangsaan dengan masing-masing kebudayaan daerahnya,
bahasa daerah, agama yang dianut, ras dan sebagainya.
2. Wilayah negara yang begitu luas, terdiri atas ribuan
kepulauan yang dikelilingi oleh lautan luas.
3. Besarnya kemungkinan ancaman, tantangan, hambatan, dan
gangguan yang merongrong keutuhan, kesatuan, dan persatuan bangsa, baik yang
berasal dari dalam maupun dari luar negeri.
4. Masih besarnya ketimpangan dan ketidak merataan pembangunan
dan hasil-hasil pembangunan menimbulkan berbagai rasa tidak puas dan
keputusasaan di masalah SARA (Suku, Agama, Ras, dan Antar-Golongan) gerakan
separatisme dan kedaerahan, demonstrasi dan unjuk rasa.
5.
Adanya paham
“entosentrisme” di antara beberapa suku bangsa yang menonjolkan
kelebihan-kelebihan budayanya dan menganggap rendah budaya suku bangsa lain.
Masalah integrasi nasional di Indonesia sangat kompleks dan
multidimensional. Untuk mewujudkannya diperlukan keadilan kebijakan yang
diterapkan oleh pemerintah dengan tidak membedakan ras, suku, agama, bahasa,
gender, dan sebagainya. Sebenarnya, upaya membangun keadilan, kesatuan, dan
persatuan bangsa merupakan bagian dari upaya membangun dan membina stabilitas
politik di samping upaya lain seperti banyaknya keterlibatan pemerintah dalam
menentukan komposisi dan mekanisme parlemen.
Dengan demikian upaya integrasi nasional dengan
strategi yang mantap perlu terus dilakukan agar terwujud integrasi bangsa
Indonesia yang diinginkan. Upaya pembangunan dan pembinaan integrasi nasional
ini perlu, karena pada hakekatnya integrasi nasional tidak lain menunjukkan
tingkat kuatnya kesatuan dan persatuan bangsa yang diinginkan (Mahfud, 1993).
Pada akhirnya persatuan dan kesatuan bangsa inilah yang dapat lebih menjamin
terwujudnya negara yang makmur aman dan tentram. Jika melihat konflik yang
terjadi di Aceh, Ambon, Kalimantan Barat, dan Papua merupakan cermin dari belum
terwujudnya integrasi nasional yang diharapkan selama ini.
C.
PERMASALAHAN YANG
TERJADI DALAM MENCAPAI INTEGRASI SOSIAL DAN INTEGRASI NASIONAL
Sejarah telah
mencatat bahwa Sumpah Pemuda yang dicetuskan pada tahun 1928 adalah suatu
perwujudan solidaritas sosial begitu kental merasuk dalam kalbu antargolongan
pemuda. Tidak perlu dipertanyakan darimana asal-usul suku bangsa, ras, agama,
bahasa dan lain sebagainya. Mereka bergabung, membaur, menyatu, dalam kadar
solidaritas yang tinggi, menuju terwujudnya integrasi sosial dan integrasi
nasional.
Bangsa dan budaya Indonesia pada hakikatnya adalah satu.
Kenyataanya adanya berbagai suku bangsa, ras dan corak ragam budaya yang ada
menggambarkan kekayaan budaya bangsa yang menjadi modal dan landasan
pengembangan budaya bangsa seluruhnya, sehingga menjadi modal dasar terwujudnya
integrasi sosial-nasional.
Sudah menjadi takdir
bangsa Indonesia, bahwa neraga ini terdiri atas maysarakat yang heterogen,
masyarakat majemuk. Kenyataan ini merupakan kenyataan bagi bangsa Indonesia dan
sekaligus menciptakan tantangan-tantangan. Sejarah telah membuktikan kepada
kita, bahwa perjalanan masyarakat nusantara menuju terwujudnya kesatuan bangsa
tidak selalu berjalan mulus, melainkan kadang-kadang berhadapan dengan berbagai
masalah.
Secara umum terdapat
tiga masalah besar yang harus dikaji dengan serius untuk mencapai Integrasi Sosial
– Integrasi Nasional yang mantap, yaitu:[1]
a.
Pembauran Bangsa
Pembauran bangsa
(dalam hal ini bangsa Indonesia) Merupakan usaha untuk menyatukan suku-suku
bangsa dalam masyarakat bangsa Indonesia menjadi satu kesatuan yang utuh atau
pemaduan masyarakat-masyarakat kecil yang banyak jumlahnya menjadi satu bangsa
baru, yaitu Indonesia. Bersatu sebagai satu bangsa tidak hanya berdasarkan atas
kesamaan ras, suku, bangsa, bahasa, agama, kepentingan atau batas-batas
geografis, tetapi berdasarkan pada kesaman perasaan, kesamaan niat yang timbul
sebagai akibat pengorbanan yang telah dialami di masa lampau, masa kini, dan
akan dialami bersam-bersama di masa mendatang.masyarakat indonesia sebagai
suatu bangsa, tidak hanya merupakan federasi antara kelompok-kelompok manusia
nusantara yang masing-masing memiliki ciri khas, melainkan merupakan satu
kesatuan baru dan mewujudkan ikatan solidaritas yang mencakup segenap
manusia-manusia indonasia seluruhnya. Dengan demikian ikatan solidaritas itu
bukan lagi karena persamaan suku bangsa, ras agama, maupun golongan, melainkan
berdasarkan ikatan kejiwaan, solidaritas, dan kesetiakawanan seluruh rakyat
indonesia yang berkeyakinan sebagai satu bangsa Indonesia(Sukanto, 1984: 730).
Titik rawan dari
pembauran bangsa tetap terletak pada kelompok keturunan. Perhatian khusus
diberikan kepada kelompok masyarakat keturunan Tionghoa, ini disebabkan
beberapa hal, yaitu:
1) Jumlah kelompok masyarakat itu cukup besar, sekitar 3,5
juta orang;
2) Pola hidup mereka secara relatif masih eksklusif; dan
3) Pada umumnya mereka berada dalam kelompok masyarakat
ekonomi kuat.
Berdasarkan pada hal
itu kita dapat mengatakan bahwa masih ada beberapa hambatan dalam proses
pembauran kelompok keturunan Tionghoa ini antara lain faktor budaya, ekonomi,
dan politik (Bahri, 1984: 694).
b.
Kerukunan Antar Umat
Beragama
Sudah menjadi
pendapat umum pada tingkat nasional ataupun tingkat internasional, bahwa Republik Indonesia
adalah negara yang mempunyai penganut Agama Islam terbesar di dunia. Dari data
statistik sering diungkapkan bahwa dari 148 juta (tahun 1984) penduduk
indonesia, 90% menganut Agama Islam.
Akan tetapi sejak
Indonesi merdeka kedudukan islam dalam area politik nasional seringkali menjadi
persoalan yang menimbulkan pertentangan, sehingga mengakibatkan kemacetan
politik, pemberontakan berlatar belakang agama dan kedaerahan, juga
pertentangan sosial lainnya. Di kalangan umat islam dalam kenyataannya terdapat
berbagai derajat kaum muslimin, dari yang saleh sampai mereka yang abangan.
Sedangkan di barisan orang-orang saleh pun terdapat bermacam-macam aliran.
Dengan kondisi seperti itu, menjadikan masalah islam di Indonesia sebagai
persoalan yang cukup rumit.
Bersaman dengan isu Kristianisasi
di kalangan umat islam belum kunjung lenyap, dan belakangan ini muncul isu Islamisasi
di kalangan umat kristen. Semua ini menunjukkan betapa berkembangnya
solidaritas sempit yang membawa kemrosotan semangat kebangsaan Indonesia.dengan
demikian kesadaran untuk menumbuhkan sikap saling pengertian kesulitan yang
dihadapi masing-masing kelompok agama masih sangat rendah[2]. Walaupun di masa, Orde Baru, konflik antara umat Islam
dan Kristen juga kerap terjadi, namun setelah tahun 1998, konflik antara dua
kelompok agama ini mengalami eskalasi yang sangat signifikan dengan tingginya
jumlah korban jiwa (Tadjoeddin 2004). Pada bulan, Oktober 2002, ledakan
bom di daerah wisata Kuta di Bali merupakan serangan sekelompok oknum terbesar
kedua setelah tragedi 11 September 2001 di New York, karena memakan korban hampir
sekitar 200 orang, sekaligus menjadi peristiwa paling berdarah yang menyangkut
gerakan Islam radikal di tanah air. Konfl ik kekerasan bukanlah hal yang baru
dalam episode sejarah Indonesia. Sejak masa keemasan kerajaan Majapahit, hingga
era kolonialisme dan perjuangan kemerdekaan, dinamika konfl ik kekerasan selalu
lekat mengiringi. Karenanya, Indonesianis sekaliber Ben Anderson tidak
segan-segan untuk berpendapat bahwa kultur kekerasan bukanlah monopoli penguasa
Orde Baru saja, tetapi sudah sejak lama diidap oleh semua lapisan di dalam
masyarakat (Anderson, 2001).
c.
Perubahan
Nilai-nilai
Dari mulai Indonesia
merdeka sampai sekarang ini, masih terdapat pandangan umum bahwa ada kesulitan
untuk menentukan nilai-nilai Indonesia, akibat adanya kesenjangan yang bersifat
struktural dalam masyarakat. Kesenjangan itu semakin terasa manakala arus
budaya barat masuk dengan deras tak tertahan ke persada Nusantara. Lebih tragis
lagi karena ketidaksiapan dan ketidakmatangan budaya domestik untuk merangkul
budaya barat yang disebut budaya modern itu.
Akibat dari
perkembangan teknologi komunikasi juga muncul kelompok masyarakat yang merasa
mandiri, kemudian muncul egoisme, asalkan saya selamat, yang lain masa bodoh.
Bila kita sampai pada pemikiran seperti itu akan sampai pada satu bahaya besar,
karena akan terjadi disintegrasi yang tidak tampak. Disintegrasi seperti itu
baru akan terlihat bila kita telah mengalami suatu musibah besar perpecahan
politik etau serangan dari luar. Jika ini terjadi, neragara hanyalah tinggal
sebagai kerangka tetapi isinya keropos.
Sekelompok pakar berpendapat
bahwa proses pembangunan di negara-negara berkembang berpotensi untuk menjadi
violent-generating process (proses pembentukan kekerasan). Olson misalnya
menyatakan bahwa perubahan secara cepat di dalam teknik produksi dan prilaku
ekonomi akan membawa masyarakat pada situasi anomy yang dicirikan dengan
perasaan hilangnya pijakan dan hilangnya norma-norma (Olson 1997). Ironi dari
bangsa Indonesia hari ini adalah rontoknya tradisi meritokrasi dan hilangnya
kapasitas visioner yang diiringi dengan menggejalanya “tradisi instan” di
segala lapisan masyarakat. Belajar dari pengalaman negara-negara di Amerika
Latin, suatu sistem politik yang didominasi oleh kalkulasi materi dan
agenda-agenda politik yang pragmatis, tidaklah memiliki kemampuan jangka
panjang untuk mengantarkan suatu negara bangsa mencapai fase demokrasi yang
terkonsolidasi.[3]
0 komentar:
Posting Komentar